ANSOR GRATI

Sejarah dan Peristiwa Penting di Bulan Rabiul Awwal

Sejarah Singkat

Bulan Rabiul Awal adalah bulan ketiga dalam kalender Hijriyah yang memiliki kedudukan istimewa bagi umat Islam. Bulan ini dikenal sebagai bulan lahirnya Nabi Muhammad, tepatnya pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah. Peristiwa kelahiran Rasulullah kemudian dikenal dengan istilah Maulid Nabi Muhammad.  Selain sebagai bulan kelahiran Nabi, Rabiul Awal juga menjadi momentum umat Islam untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui berbagai amalan ibadah

Alasan penamaan Rabiul Awwal

Adapun alasan penamaan nama Rabiul Awwal menurut Ibnu Katsir adalah:

وَشَهْرُ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ سُمِّيَ بِذَلِكَ لاِرْتِبَاعِهِمْ فِيهِ، وَالاِرْتِبَاعُ: الإِقَامَةُ فِي عِمَارَةِ الرِّبَاعِ. وَيُجْمَعُ عَلَى أَرْبِعَاءَ كَنَصِيبٍ وَأَنْصِبَاءَ، وَعَلَى أَرْبَعَةٍ كَرَغِيفٍ وَأَرْغِفَةٍ.

Bulan Rabi‘ul Awwal dinamakan demikian karena mereka (orang Arab) biasa irta bā‘a (beristirahat atau menetap) di dalamnya. Al-irtibā‘ artinya menetap di pemukiman (rumah-rumah dan tempat tinggal). Kata Rabi‘ jamaknya bisa Arbi‘ā’ (seperti naṣīb dan anṣibā’), dan bisa juga Arba‘ah (seperti raghīf dan arghifah). [Ibn Katsir, Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm, (Bayrūt: Dār al-Kutub al-ʿIlmīyah, cet. 1), 1419 H, jld. 4, hlm. 129.]

Berikut empat peristiwa penting yang patut kita renungkan:

1. Kelahiran Nabi Muhammad

Rabiul Awwal adalah bulan kelahiran Sang Pembawa Risalah. Menurut mayoritas ulama, beliau lahir pada hari Senin, 12 Rabi‘ul Awwal, sedangkan menurut al-Marḥūm Maḥmūd Bāsyā al-Falakī, bahwasanya kelahiran itu terjadi pada pagi hari Senin, tanggal 9 Rabī‘ul Awwal, yang bertepatan dengan tanggal 20 April 571 MPeristiwa ini bukan hanya kelahiran seorang manusia, tetapi awal cahaya petunjuk bagi seluruh alam. [Muḥammad ibn ‘Afīfī al-Bājūrī, Nūr al-Yaqīn fī Sīrat Sayyid al-Mursalīn, (w. 1345 H) (Damaskus: Dār al-Fayḥā’, cet. II, 1425 H), h. 9.]

2. Hijrah Nabi ke Madinah

Hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah juga terjadi pada bulan Rabi‘ul Awwal tahun 1 H. Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab Sirah Nabawiyah karangan Ibnu Katsir berupa:

وَقَدْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ، سَنَةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ مِنْ بِعْثَتِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَذَلِكَ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ

“Dan sungguh hijrahnya terjadi pada bulan Rabi‘ul Awwal, pada tahun ketiga belas dari bi’tsah (diutusnya menjadi rasul), yaitu pada hari Senin.” [Ibn Kaṯīr, al-Sīrah al-Nabawiyyah, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah li al-Ṭibā‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzī‘, tt.), vol. 2 h. 232.]

Di sinilah fondasi masyarakat Islam ditegakkan, persaudaraan Muhajirin dan Anshar dipererat, serta Masjid Qubā’ dan Masjid Nabawi mulai dibangun. Hijrah menjadi titik balik dari fase dakwah yang penuh tekanan menuju fase kejayaan.

3. Wafat Nabi Muhammad

Di bulan yang sama, setelah risalah disempurnakan dan amanah ditunaikan, dalam kitabnya, Syaikh Muḥammad ibn ‘Afīfī al-Bājūrī mengatakan:

وَلَمْ تَأْتِ ضُحًوَةُ هَذَا اليَوْمِ حَتَّى فَارَقَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُنْيَاهُ وَلَحِقَ بِمَوْلَاهُ، وَكَانَ ذَلِكَ فِي يَوْمِ الِاثْنَيْنِ 13 رَبِيْعٍ الأَوَّلِ سَنَةَ 11، (8 يُوْنْيُو سَنَةَ 633) فَيَكُوْنُ عُمُرُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ 63 سَنَةً قَمَرِيَّةً كَامِلَةً، وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، وَإِحْدَى وَسِتِّيْنَ شَمْسِيَّةً، وَأَرْبَعَةً وَثَمَانِيْنَ يَوْمًا.

“Dan belum sampai pertengahan pagi hari itu, Rasulullah telah meninggalkan dunia dan kembali kepada Tuhannya. Peristiwa itu terjadi pada hari Senin, tanggal 13 Rabiul Awwal tahun 11 H (8 Juni 633 M). Maka usia beliau adalah 63 tahun qamariyah (lunar) yang sempurna, tiga hari, serta 61 tahun syamsiyah (solar) dan 84 hari.” [Muḥammad bin ‘Afīfī al-Bājūrī, (w. 1345 H), Nūr al-Yaqīn fī Sīrat Sayyid al-Mursalīn, (Damaskus: Dār al-Fayḥā’, cet. II, 1425 H). hal. 243]

Riwayat lain juga ada yang mengatakan bahwa Rasulullah wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal tahun 11 H. Umat Islam saat itu berduka, namun diajarkan keteguhan iman agar tidak terikat pada sosok, melainkan pada Allah Yang Maha Hidup.

4. Terpilihnya Abu Bakar aṣ-Ṣiddīq sebagai Khalifah

Setelah Rasulullah wafat, suasana Madinah menjadi tegang. Kaum Anṣār segera berkumpul di Saqīfah Banī Sā‘idah bersama Sa‘d bin ‘Ubādah untuk menentukan pemimpin baru. Sementara itu, ‘Alī, al-Zubair, dan Ṭalḥah berkumpul di rumah Fāṭimah, sedangkan Abu Bakr dan ‘Umar bersama sebagian Muhājirīn bergegas menyusul Anṣār agar tidak terjadi perpecahan.

Perdebatan sengit hampir saja memecah umat. Namun akhirnya, Abu Bakr dibaiat sebagai khalifah. Meski prosesnya tampak tiba-tiba (falta), Allah menjaga umat dari fitnah besar, dan semua sahabat sepakat bahwa tidak ada seorang pun yang lebih layak memimpin selain Abu Bakr.

Beberapa waktu kemudian, ada yang berani berkata, “Jika Umar wafat, aku akan baiat si Fulan, sebab baiat Abu Bakr hanyalah kebetulan.” Mendengar itu, Umar marah. Dalam khutbahnya, ia menegaskan: baiat Abu Bakr sah karena musyawarah, bukan paksaan. Siapa pun yang membaiat tanpa persetujuan kaum muslimin, baiatnya batal dan keduanya bisa dihukum.

Dalam khutbah yang sama, Umar juga mengingatkan hukum rajam, larangan menisbatkan diri selain kepada ayah kandung, serta pesan Rasulullah agar beliau tidak dipuji berlebihan seperti Nasrani memuji Isa a.s. Semua itu adalah peringatan agar umat Islam tetap lurus dalam akidah dan bersatu dalam kepemimpinan. [ʿAbd al-Malik bin Hishām bin Ayyūb al-Ḥimyarī al-Maʿāfirī, Abū Muḥammad, Sīrah Ibn Hishām, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Maṭbaʿah Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabī wa Awlādih, cet. II, 1375 H/1955 M), vol. 2 hal. 656-659.]

 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Instal Now!! SIApps

Contact Form